Pengertian Sastra Menurut Para Ahli: Telaah Komprehensif

Kata Pengantar

Halo selamat datang di ilmu.co.id. Pada kesempatan ini, kita akan mengulas secara mendalam tentang definisi sastra menurut para ahli. Sastra, sebagai salah satu bentuk ekspresi manusia yang kaya dan kompleks, telah menjadi subjek diskusi dan perdebatan selama berabad-abad. Memahami beragam perspektif tentang pengertian sastra sangat penting bagi siapa saja yang tertarik dengan seni, humaniora, dan komunikasi.

Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi berbagai definisi sastra yang dikemukakan oleh para pakar di bidangnya. Setiap perspektif menawarkan wawasan unik tentang sifat dan tujuan sastra, membantu kita mengapresiasi keragaman dan kedalaman bidang yang menakjubkan ini.

Pendahuluan

Sastra adalah bentuk komunikasi tertulis atau lisan yang menggunakan bahasa dengan cara estetis untuk menyampaikan pengalaman, emosi, dan ide. Sejarah sastra membentang ribuan tahun, dengan karya-karya dari berbagai budaya dan periode waktu menggambarkan kompleksitas kondisi manusia.

Tidak ada definisi tunggal dan universal tentang sastra, karena pengertiannya terus berkembang seiring dengan perubahan masyarakat dan budaya. Namun, beberapa ciri umum dapat diidentifikasi di sebagian besar definisi, seperti penggunaan bahasa figuratif, fokus pada keindahan bentuk, dan eksplorasi tema-tema universal.

Definisi sastra juga dapat bervariasi tergantung pada konteks penggunaannya. Dalam konteks akademis, sastra umumnya dipahami sebagai karya tulis atau lisan yang memiliki nilai estetika atau intelektual tertentu. Namun, dalam konteks yang lebih umum, sastra dapat mencakup bentuk-bentuk ekspresi lainnya, seperti film, teater, dan musik.

Dengan latar belakang ini, mari kita telusuri berbagai perspektif para ahli tentang pengertian sastra.

Aristoteles

Filsuf Yunani kuno Aristoteles (384-322 SM) adalah salah satu tokoh pertama yang merumuskan teori sastra. Dalam karyanya “Poetics,” ia mendefinisikan sastra sebagai “imitasi kehidupan.” Menurut Aristoteles, sastra bukanlah sekadar representasi kenyataan tetapi juga sebuah interpretasi atau komentar terhadapnya.

Aristoteles percaya bahwa tujuan utama sastra adalah memberikan kesenangan atau katharsis kepada pembaca. Melalui penggambaran karakter dan peristiwa, sastra memungkinkan pembaca untuk mengalami emosi dan renungan yang mendalam, sehingga memurnikan dan menaikkan kesadaran mereka.

Teori Aristoteles tentang imitasi sangat berpengaruh dalam perkembangan pemikiran sastra, dan gagasannya tentang kesenangan dan katharsis terus menginspirasi karya para penulis dan kritikus hingga saat ini.

Plato

Plato (428-348 SM), filsuf Yunani kuno lainnya, memiliki pandangan yang lebih kritis terhadap sastra. Dalam karyanya “The Republic,” ia berpendapat bahwa sastra adalah bentuk peniruan yang jauh dari kenyataan sejati.

Plato percaya bahwa sastra dapat mengelabui pembaca agar menerima kebohongan sebagai kebenaran dan dapat merusak moralitas. Oleh karena itu, ia mengusulkan pelarangan penyair dari negara idealnya, kecuali jika mereka dapat menunjukkan bahwa karya mereka bernilai mendidik atau filosofis.

Pandangan Plato tentang sastra mencerminkan kekhawatirannya tentang pengaruh seni terhadap masyarakat, dan perspektifnya terus menjadi bahan perdebatan di kalangan pemikir kontemporer.

Horatius

Penyair Romawi Horatius (65-8 SM) mengajukan definisi sastra yang menekankan kesenangan dan pengajaran. Dalam karyanya “Art of Poetry,” ia menyatakan bahwa tujuan sastra adalah “untuk menyenangkan dan mengajar.”

Horatius percaya bahwa sastra yang baik harus menghibur dan mendidik pembaca secara bersamaan. Ia berpendapat bahwa sastra harus menggunakan bahasa yang indah dan jelas untuk menyampaikan pesan moral yang penting.

Definisi Horatius tentang sastra sangat berpengaruh selama periode Renaisans dan Klasik, dan gagasannya tentang hiburan dan pengajaran terus memandu para penulis dan kritikus hingga saat ini.

Samuel Taylor Coleridge

Penyair dan kritikus Inggris Samuel Taylor Coleridge (1772-1834) mendefinisikan sastra sebagai “penangguhan ketidakpercayaan yang sukarela.” Dalam karyanya “Biographia Literaria,” ia berargumen bahwa pembaca sastra harus menangguhkan keraguan mereka dan menerima realitas dunia yang diciptakan oleh karya tersebut.

Coleridge percaya bahwa sastra adalah bentuk imajinasi yang dapat menciptakan dunia yang berbeda namun dapat dipercaya. Ia menekankan peran imajinasi dalam menciptakan pengalaman sastra yang bermakna.

Definisi Coleridge tentang sastra menekankan pengalaman subjektif pembaca dan menekankan pentingnya penciptaan imajinatif dalam sastra.

T.S. Eliot

Penyair dan kritikus Amerika T.S. Eliot (1888-1965) mendefinisikan sastra sebagai “peleburan emosi menjadi pemikiran.” Dalam karyanya “The Four Quartets,” ia berargumen bahwa sastra adalah bentuk komunikasi yang dapat mengekspresikan pengalaman manusia yang paling kompleks dan mendalam.

Eliot percaya bahwa sastra tidak hanya mencerminkan emosi tetapi juga memicu pemikiran dan refleksi. Ia menekankan peran pengalaman pribadi dan imajinasi dalam proses penciptaan sastra.

Definisi Eliot tentang sastra menangkap sifat transformatif sastra dan menekankan kekuatannya untuk mengeksplorasi kedalaman kondisi manusia.

Virginia Woolf

Novelis dan kritikus Inggris Virginia Woolf (1882-1941) mendefinisikan sastra sebagai “sumbu sebuah lampu.” Dalam karyanya “A Room of One’s Own,” ia berargumen bahwa sastra adalah bentuk ekspresi yang dapat menerangi sudut-sudut gelap dari keberadaan manusia.

Woolf percaya bahwa sastra memiliki kekuatan untuk mengungkapkan kebenaran yang sulit diungkap melalui cara lain. Ia menekankan peran pengalaman perempuan dalam sastra dan berpendapat bahwa sastra dapat menjadi alat pemberdayaan sosial.

Definisi Woolf tentang sastra menyoroti kekuatan iluminatif sastra dan menekankan pentingnya perspektif dan pengalaman yang beragam dalam dunia sastra.

Harold Bloom

Kritik sastra Amerika Harold Bloom (1930-2019) mendefinisikan sastra sebagai “kanon Barat.” Dalam karyanya “The Western Canon,” ia berargumen bahwa sastra adalah kumpulan karya-karya besar yang telah bertahan dalam ujian waktu dan membentuk tradisi sastra Barat.

Bloom percaya bahwa sastra adalah hierarkis dan bahwa karya-karya besar tertentu menonjol di atas yang lainnya. Ia menekankan pentingnya membaca, menafsirkan, dan melestarikan karya-karya klasik dalam tradisi sastra.

Definisi Bloom tentang sastra mencerminkan pandangannya tentang nilai sastra dan pentingnya kanon dalam studi sastra.

Kelebihan dan Kekurangan Pengertian Sastra Menurut Para Ahli

Pengertian Kelebihan Kekurangan
Aristoteles (Imitasi Kehidupan) – Menekankan nilai estetika sastra
– Memberikan kerangka untuk menganalisis dan mengapresiasi karya sastra
– Membatasi sastra hanya pada peniruan kenyataan
– Tidak mempertimbangkan peran imajinasi
Plato (Form Peniruan) – Meningkatkan kesadaran akan potensi dampak sastra pada masyarakat
– Menekankan pentingnya nilai moral dalam sastra
– Terlalu kritis terhadap sastra
– Mengabaikan nilai estetika dan hiburan
Horatius (Menyenangkan dan Mengajar) – Menekankan kesenangan dan nilai pendidikan sastra
– Berlaku untuk berbagai genre sastra
– Sedikit menjelaskan sifat unik sastra
– Tidak membahas peran imajinasi
Samuel Taylor Coleridge (Penangguhan Ketidakpercayaan) – Menekankan pengalaman subjektif pembaca
– Menghargai peran imajinasi dalam sastra
– Bisa mengarah pada definisi sastra yang terlalu luas
– Tidak menguraikan kriteria untuk “menangguhkan ketidakpercayaan”
T.S. Eliot (Peleburan Emosi menjadi Pikiran) – Menangkap sifat transformatif sastra
– Menekankan kekuatan sastra untuk mengeksplorasi emosi dan pikiran
– Dapat membatasi sastra hanya pada karya yang “intelektual”
– Tidak membahas peran pengalaman indrawi
Virginia Woolf (Sumbu Lampu) – Menekankan kekuatan sastra untuk menerangi pengalaman manusia
– Berfokus pada peran sastra dalam pemberdayaan sosial
– Terlalu luas dan tidak memberikan defin